Kasus Fikasa Group Terbaru
Menangis dituntut 12 tahun
Sementara itu, JPU menuntut terdakwa kasus investasi bodong Maryani dengan 12 tahun penjara. Maryani merupakan bos Fikasa Group di Pekanbaru.
Dalam kasus ini, jaksa mengenakan Undang-undang Perbankan untuk menjerat terdakwa Maryani.
Selain itu, Maryani yang merupakan mantan karyawan bank juga dikenakan denda Rp 15 miliar.
"Oleh karena itu, kita menuntut terdakwa 12 tahun penjara dan denda Rp 15 miliar," ucap JPU, Herlina Samosir.
Baca juga: Wanita Pelaku Investasi Bodong di Pekanbaru Ditangkap, Ada 18 Korban, Kerugian Rp 6 Miliar
Selama proses persidangan, tampak Maryani berurai air mata. Di kursi persakitan itu dia selalu menghapus linangan air matanya dengan sapu tangan.
Sejak dari awal jaksa sudah mengarahkan bahwa kasus ini bukan pidana umum, yakni tentang penipuan dan penggelapan apalagi perdata.
Kuasa hukum terdakwa tampak berusaha menenangkan kliennya selama proses persidangan. Di mana Maryani memang sering terlihat menoleh ke kuasa hukumnya.
Di Pekanbaru ada 200 nasabah investasi bodong itu. Namun, hanya 10 nasabah saja yang melapor.
Dari 10 orang itu, nasabah tertipu 84,9 miliar. Maryani sendiri mendafatkan fee Rp 13 miliar setelah mencari nasabah di
Pekanbaru dengan jumlah 200 orang. Rata-rata setiap nasabah menanamkan modalnya miliaran.
Bahwa Fikasa Grup melalui anak perusahaannya PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP) menarik dana dari masyarakat melalui produk promisorry note atau surat utang.
Maryani disuruh bos Fikasa Group Agung Salim Cs mencari uang dengan produk promisorry note dengan iming-iming bunga tinggi 9-12 persen pertahun.
Usai sidang tuntutan, Maryani langsung dipeluk oleh seorang kerabatnya.
Keduanya pun menangis terisak di ruang sidang. Jaksa dan polisi langsung membawa terdakwa Maryani ke penjara.
Untuk diketahui, sebanyak lima orang bos perusahaan investasi di Riau didakwa melakukan penipuan terhadap nasabah.
Kerugian para korban mencapai Rp 84,9 miliar.
Kelima terdakwa itu adalah, Bhakti Salim, Agung Salim, Elly Salim, serta Christian Salim dan Maryani.
Penipuan investasi itu disebut dilakukan dua anak perusahaan Fikasa Group, yakni PT Tiara Global dan PT Wahana Bersama Nusantara.
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang di PN Pekanbaru, ada 10 korban yang melaporkan kasus itu ke Mabes Polri.
Pekanbaru, Elaeis.co - Lima terdakwa kasus penipuan investasi bodong meminta dibebaskan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejari Pekanbaru. Namun, hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menolak permohonan mereka, apalagi kerugian korban mencapai puluhan miliaran.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan dalam kasus penipuan investasi Wahana Bersama Nusanta dan PT Tiara Global Propertindo di PN Pekanbaru Senin (29/11/2021). Dimana total kerugian nasabah Rp 84 miliar.
"Bahwa dalam surat dakwaan yang disusun JPU dalam perkara ini tidak jelas dalam merumuskan tindak pidana yang dilakukan terdakwa," kata Yudi Krismen pengacara terdakwa Maryani Senin (29/11/2021).
Kepada majelis hakim yang dipimpin Dahlan, penasehet hukum menyatakan terdakwa melanggar Pasal 378 KUHPidana dan Jo Pasal 64 Ayat (1) jo Pasal 55 KHUPidana itu terjadi ketidakjelasan apakah itu perbuatan perseorangan apa perusahaan.
"Di sisi lain terdakwa didakwa melakukan tindak pidana penipuan namun tidak jelas unsur mana yang dilanggar," tukasnya.
Pihak penasehet hukum menguraikan sejumlah alasan kalau apa yang didakwakan tidak berdasar.
"Menyatakan Surat Dakwaan JPU batal demi hukum. Membebaskan terdakwa dari segala tuntutan dan membebaskan dari tahanan," ucapnya.
Namun atas permintaan terdakwa itu majelis Hakim menolak untuk membebaskan terdakwa. "Setelah berdiskusi dengan majelis kita bersepakat terdakwa tetap ditahan," kata Dahlan.
Dalam kasus ini ada lima orang yang diadili. Mereka adalah Bhakti Salim selaku Ditektur Utama PT WBN, Agung Salim, Komisaris Utama PT WBN, Elly Salim selaku Direktur PT WBN, Christian Salim selaku Direktur PT TGP dan Maryani selaku marketing. Kelima terdakwa mengikuti sidang secara virtual.
Awal mula kasus itu sejak tahun 2016, PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP yang bergerak di bidang usaha properti, bernaung di bawah Fikasa Group sedang membutuhkan tambahan modal untuk operasional perusahaan. Kemudian mereka mencari nasabah ke Pekanbaru.
Kepada para nasabah di Pekanbaru, mereka menawari bunga deposito 9-12 persen pertahun dengan produk promissory note PT WBN dan PT TGP. Pada awalnya mereka membayar bunga deposito. Saat menawarkan promossory note, Maryani mengiming-imingi bunga yang sangat tinggi melebihi bunga bank pada umumnya.
Di mana bunga bank pada umumnya hanya 5 persen pertahun, tapi Maryani menjanjikan bunga 9 sampai 12 persen pertahun. Namun sejak 2019, tidak ada pembayaran lagi.
Akibatnya, nasabah dirugikan Rp 84,9 miliar. Para nasabah belakangan meminta uang mereka dikembalikan. Para terdakwa pun berjanji akan mengembalikan uang nasabah, namun tidak kunjung terealisasi.
Mabes Polri pun bergerak menangkap para pelaku setelah mendapat laporan korbab. Kasus dilimpahkan ke Kajaksaan Agung dan selanjutkan disidangkan di Pekanbaru.
KORBAN Fikasa Group berencana melaporkan hakim Mahkamah Agung atau MA karena memutus lepas tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Bhakti Salim dkk.
Pengacara korban Fikasa Grop Saiful Anam mengaku, ada yang janggal dengan putusan hakim Mahkamah Agung yang di Ketuai Dr. Desnayeti, M. SH., MH. dan hakim anggota Dr. H. Achmad Setyo Pudjoharsono, S.H., M.Hum. dan Yohanes Priyana, S.H., M.H tersebut.
“Aneh dan ajaib MA justru melepaskan terpidana dari jeratan tindak pidana pencucian uang. Dalam waktu dekat kami akan melaporkan ke hakim itu ke KPK, Komisi Yudisial (KY), Menkopolhukam, DPR hingga presiden Jokowi,” kata Saiful Anam, Kamis 15 Agutus 2024.
Saiful Anam mengungkapkan, putusan hakim MA tidak adil dan menciderai rasa keadilan para korban.
“Padahal perkara pokoknya terbukti melakukan tindak pidana ekonomi khusus dalam hal ini tindak pidana perbankan, dengan cara mengumpulkan dana dari masyarakat tanpa seijin OJK. Tapi kok malah diputus lepas oleh hakim MA. Ini kan aneh,” ungkapnya.
Saiful Anam telah mencium aroma ketidak beresan kasus Fikasa Group yang ditanganinya sejak awal.
Dari mulai terdapat kortingan putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 1155/Pid.Sus/2022/PN PBR dari menjatuhkan putusan penjara masing-masing 11 tahun dan denda Rp 10 miliar apabila tidak dibayar diganti pidana kurungan 6 bulan.
Namun pada tingkat banding melalui perkara Nomor 612/Pid.Sus/2023/PT PBR Pengadilan Tinggi Riau justru menurunkan atau mengubah putusan menjadi 3 tahun dan denda sebesar Rp 10 miliar jika tidak dibayar harus diganti pidana kurungan 6 bulan.
“Ternyata pada tingkat Kasasi melalui Putusan 3353 K/Pid.Sus/2024 malah melepaskan Bhakti Salim dkk dari segala tuntutan hukum,” jelasnya.
Dirinya menduga ada permainan yang sistematis dan massif dalam memutus perkara ini. Putusan perakara itu di Mahkamah Agung lanjut Saiful Anam, sudah diputus tanggal 14 Juni 2024. Tapi baru dimunculkan dalalm laman resmi Mahlaman Agung tanggal 15 Agustus 2024. Ini aneh sekali.
“Patut diduga Bhakti Salim dkk sangat sakti. Bayangkan dari putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru diturunkan oleh Pengadilan Tinggi Riau hingga diputus lepas oleh Mahkamah Agung. Kemana nurani hakim MA yang memutus perkara tersebut. Bahkan restitusi yang seharusnya didapatkan oleh korban bisa hangus begitu saja,” urai Saiful Anam.
Pihaknya mengaku akan menyusun strategi apakah dimungkinkan untuk dilakukan upaya Peninjauan Kembali (PK) atas perkara tersebut.
“Karena korban sangat dirugikan atas kerugian dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Bhakti Salim dkk. Saya yakin Kejaksaan Agung akan bersedia melakukan upaya PK,” pungkasnya.
Seperti Diketahui melalui website info perkara Mahkamah Agung tanggal 15 Agustus 2024 Bhakti Salim dkk melalui putusan menolak kasasi Penuntut Umum, mengabulkan kasasi para terdakwa, membatalkan putusan judex facti, mengadili sendiri, menyatakan para terdakwa terbukti melakukan perbuatan namun perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan, barang bukti dikembalikan kepada dari mana barang bukti tersebut disita. (usi/fat)
PEKANBARU (Independensi.com) – Putusan pengadilan negeri, Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung yang telah menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Bhakti Salim, Agung Salim, Christian Salim, Elly Salim dan 12 tahun penjara kepada Maryani, merupakan suatu keputusan yang tidak dapat di pisahkan dalam persidangan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Karena putusan tersebut telah inkrah dan mempunyai kekutaan hukum tetap.
Hal itu diakui Dr Rocky Marbun SH, MH saksi ahli (a de charge) yang diajukan terdakwa Bhakti Salim Cs saat menjawab pertanyaan Rendy Pinalosa SH, MH dan Jumieko Andra SH MH – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan yang digelar Selasa (27/6) sore di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Dalam persidangan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dipimpin Ahmad Fadil SH dengan hakim Anggota Dr Salomo Ginting SH MH dan Yuli Artha Pujoyotama SH MH, lima terdakwa masing-masing Bhakti Salim, Agung Salim, Christian Salim dan Elly Salim dan Maryani, menyampaikan permintaan melalui kuasa hukumnya, ingin melakukan perdamaian dengan ke-10 nasabah yang menjadi korban.
“Yang Mulia, kami selaku kuasa terdakwa melalui persidangan ini ingin mengajukan perdamaian kepada para nasabah. Kami akan mengembalikan uang para nasabah,” kata pengacara terdakwa.
Mendengar permintaan para terdakwa yang disampaikan melalui kuasa hukumnya di persidangan, Ahmad Fadil selaku ketua majelis mengatakan, pihaknya tidak boleh mencampuri urusan jika dikaitkan dengan perdamaian pihak-pihak.
Silahkan sampaikan permohonan melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kalau ada hasil rembukan para pihak, itu yang dibawa ke persidangan untuk dipertimbangkan majelis, kata Fadil.
Sementara Rendi Pinalosa SH,MH Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjawab permohonan kuasa hukum terdakwa mengatakan, silahkan ajukan surat permohonan perdamaian secara resmi melalui Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru, nanti akan dibalas secara tertulis, kata Rendi.
Ditempat terpisah, Archenius Napitupulu salah satu korban investasi bodong melalui promissory note (surat hutang) mengatakan, upaya damai itu sejak dulu sudah mereka sampaikan (tawari), namun hanya sebatas omongan saja tidak ada realisasi.
Mereka itu dari dulu minta damai dan ingin mengembalikan uang nasabah, namun tidak pernah dilaksanakan. “Jadi mereka itu hanya janji-janji saja,” tegasnya.
Untuk diketahui, empat bos PT Fikasa itu diantaranya, Bhakti Salim alias Bhakti selaku Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP), Agung Salim selaku Komisaris Utama PT WBN, Elly Salim selaku Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP serta Christian Salim selaku Direktur PT TGP. Semua perusahaan itu ada di bawah naungan PT Fikasa Group.
Terdakwa lainnya yakni, Maryani selaku Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (Fikasa Grup). Melalui Maryani, PT Fikasa mendapatkan nasabah yang ingin menempatkan dananya.
Dalam perkara ini, para terdakwa berhasil mengumpulkan para nasabahnya sebanyak 10 orang dari Pekanbaru, sejak tahun 2016-2019. Perbuatan itu berawal ketika itu PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product.
Sedangkan PT TGP yang bergerak di bidang properti serta perhotelan, yang sedang membutuhkan tambahan modal untuk membiayai operasional perusahaan.
Saat itulah terdakwa Agung Salim mencari ide untuk mendapatkan tambahan modal tersebut.
Diputuskan untuk menerbitkan Promisorry Note atas nama perusahaan yang ada dalam Fikasa Grup, yaitu PT WBN dan PT TGP.
Kemudian terdakwa Agung menyuruh terdakwa Maryani menjadi Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (Fikasa Grup).
Pada beberapa Promissory Note PT WBN dari para korban, ternyata dana yang ditransfer bukan ke PT WBN melainkan ke rekening PT Inti Putra Fikasa pada ketiga bank itu.
Setelah itu, para nasabah mendapatkan bukti penempatan berupa perjanjian promissory note dan certificate yang berisi nominal penempatan, bunga keuntungan dan tanggal jatuh tempo.
Tidak hanya itu, seharusnya dana digunakan untuk operasional dan modal pengembangan usaha dari PT WBN dan PT TGP.
Namun justru digunakan para terdakwa untuk operasional dan modal usaha perusahaan lain yang ada dalam Fikasa Group.
Diantaranya, untuk usaha air minum dan perhotelan dengan badan hukum berbeda tanpa ada persetujuan nasabah.
Hasil keuntungan dari usaha tersebut masuk ke perusahaan group Fikasa, juga ke rekening pribadi terdakwa sejak Oktober tahun 2016 sampai dengan bulan September 2020.
Sementara para nasabah yang sudah menanamkan modal tidak mendapatkan keuntungan. Para terdakwa menjanjikan kan membayarnya pada 25 Maret 2020.
Akan tetapi hingga kasus ini bergulir di persidangan, uang sebesar Rp84,9 miliar tersebut belum dikembalikan ke 10 nasabah.
JPU menjerat para terdakwa dengan Pasal 3 dan 4 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana.
(Maurit Simanungkalit)
Diunggah oleh: Roberto Firmino
Pekanbaru (Independensi.com) –Bhakti Salim alias Bhakti selaku Diirektur Utama PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP) yang tergabung dalam PT Fikasa Group, mengakui dana yang dikumpulkan perusahaannya dari nasabah, di alihkan dalam pembangunan (renovasi) Hotel Westin dan Hotel Renaissance di Ubud – Bali.
Hal itu dikatakan Bhakti Salim menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rendy Penalosa SH,MH dan Jumieko Andra SH,MH dalam Sidang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang digelar Selasa (13/6) d Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.
Dalam sidang yang digelar secara virtual itu, Empat (4) bos PT Fikasa itu diantaranya, Bhakti Salim alias Bhakti selaku Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP), Agung Salim selaku Komisaris Utama PT WBN dan Christian Salim selaku Direktur PT TGP mengikuti sidang dari Rutan Sialang Bungkuk – Pekanbaru
Sementara Elly Salim selaku Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP serta Maryani mengikuti sidang dari Lapas Perempuan – Gobah – Pekanbaru.
Semua perusahaan itu di bawah naungan PT Fikasa Group.
Dalam sidang yang dipimpin majelis hakim Ahmad Fadil SH dengan hakim Anggota Dr Salomo Ginting SH MH dan Yuli Artha Pujoyotama SH MH ini, Bhakti Salim sempat beberapa kali membantah bahwa Maryani bukan bagian dari struktur perusahaannya, tapi teman di Pekanbaru.
Tapi setelah JPU mencecar pertanyaan lebih mendalam lagi, baru Bhakti Salim berkata jujur dan mengakui bahwa Maryani lah yang merekrut 10 (sepuluh) nasabah yang menempatkan dananya di PT Fikasa Group dan mengakui bahwa Maryani merupakan Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (Fikasa Grup) di Pekanbaru.
Bahkan Bhakti Salim mengakui bahwa Maryani lah yang berhasil menggaet nasabah Archenius Napitupulu, Pormian Simanungkalit, Oki Yunus Gea, Meli Novianti, Pandapotan Lumban Toruan, Darto Jhonson Siagian, Timbul Pardede, Sumardi Siagian dan Natalia Napitupulu.
Ke-sepuluh korban investasi bodong itu mengalami total kerugian sebesar Rp 84,9 miliar. Bhakti mengakui, jika setiap dana yang disimpan di perusahaannya, maka akan diberikan promissory note (surat hutang).
Bahkan, nasabah juga diberikan keuntungan dengan bunga 9 sampai 12 persen.
Apabila surat hutang itu telah jatuh tempo bunganya, maka kita bayarkan bunganya. Kalau jatuh tempo pembayaran hutangnya, maka kita bayarkan hutangnya dari perusahaan ,” kata Bhakti.
Jaksa kemudian menanyakan apakah dana yang dikumpulkan dari investor itu dialihkan untuk pembelian atau renovasi Hotel Western dan Hotel Renaissance di Bali. “Betul Pak ,” ujar Bhakti.
Pada kesempatan itu, Bhakti juga mengakui tidak sanggup lagi membayar bunga keuntungan atau mengembalikan uang pokok para nasabahnya.
Alasannya, bisnis mangkrak akibat pandemi Covid-19.
Sebagaimana diketahui, perbuatan itu berawal ketika PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP yang bergerak di bidang properti serta perhotelan, sedang membutuhkan tambahan modal untuk membiayai operasional perusahaan.
Pada saat itu terdakwa Agung Salim mencari ide untuk mendapatkan tambahan modal.
Diputuskan untuk menerbitkan Promisorry Note atas nama perusahaan yang ada dalam Fikasa Grup, yaitu PT WBN dan PT TGP. Kemudian terdakwa Agung menyuruh terdakwa Maryani menjadi Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (Fikasa Grup) di Pekanbaru
Pada beberapa Promissory Note PT WBN dari para korban, ternyata dana yang ditransfer bukan ke PT WBN melainkan ke rekening PT Inti Putra Fikasa pada ketiga bank.
Setelah itu, para nasabah mendapatkan bukti penempatan berupa perjanjian promissory note dan certificate yang berisi nominal penempatan, bunga keuntungan dan tanggal jatuh tempo.
Tidak hanya itu, seharusnya dana digunakan untuk operasional dan modal pengembangan usaha dari PT WBN dan PT TGP.
Namun justru digunakan para terdakwa untuk operasional dan modal usaha perusahaan lain yang ada dalam Fikasa Group.
Diantaranya, untuk usaha air minum dan perhotelan dengan badan hukum berbeda tanpa ada persetujuan nasabah.
Hasil keuntungan dari usaha tersebut masuk ke perusahaan group Fikasa, juga ke rekening pribadi terdakwa sejak Oktober tahun 2016 sampai dengan bulan September 2020.
Sementara para nasabah yang sudah menanamkan modal tidak mendapatkan keuntungan.
Kepada para terdakwa dijanjikan akan membayarnya pada 25 Maret 2020.
Akan tetapi hingga kasus ini bergulir di persidangan, uang sebesar Rp84,9 miliar tersebut belum dikembalikan ke 10 nasabah.
JPU menjerat para terdakwa dengan Pasal 3 dan 4 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana. (Maurit Simanungkalit)
Diunggah oleh: Roberto Firmino
PEKANBARU, KOMPAS.com - Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru di Riau menegaskan bahwa penyitaan aset berupa sebuah hotel di Bali milik empat terpidana kasus investasi bodong PT Fikasa Group sudah sesuai prosedur dan sah.
Hal ini menyusul adanya gugutan dari Altus Spesial Situation yang melayangkan gugatan terhadap objek yang telah disita.
"Kita tegaskan bahwa penyitaan aset Hotel Westin di Bali sudah sesuai kaidah hukum yang berlaku. Ini terbukti dari putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru yang dikuatkan dengan Pengadilan Tinggi Pekanbaru," ucap Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Pekanbaru, Zulham Pardamean Pane kepada wartawan dalam konferensi pers, Kamis (7/7/2022).
Baca juga: Polisi Sita Aset Jaringan Pengedar Narkoba Senilai Rp 2,1 Miliar, Berupa 5 Rumah dan 2 Mobil hingga Tanah
Dalam putusan pengadilan dalam perkara investasi bodong Fikasa Group, disita aset PT Bukit Cineri Indah seluas 460 meter persegi, tanah atas nama PT Bukit Cineri Indah 463 meter persegi, sebidang tanah PT 417 meter persegi, Hotel The Westin Resort dan Spa di Ubud Bali, Hotel Renaissance di Bali, kantor, satu unit rumah kantor atas nama PT Fikasa Group dirampas, dan lainnya untuk mengganti kerugian para korban.
Sementara lima orang dijatuhkan pidana penjara dalam kasus investasi bodong.
Sebelumnya, hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menjatuhkan pidana 14 tahun penjara terhadap terdakwa, Agung Salim, Bhakti Salim, Cristian Salim dan Elly Salim bos PT Fikasa Group di Jakarta dalam kasus investasi bodong.
Mereka juga didenda Rp 20 miliar untuk ganti rugi nasabah.
Sedangkan bos Fikasa di Pekanbaru yang bernama Maryani divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
"Penyitaan aset sudah sesuai dengan hubungan hukum antar perusahaan di dalam Fikasa Group, dan juga ada kaitannya dengan para terpidana sebagai pemagang saham. Kemudian sebagai komisaris dan direktur di dalam perusahaan tersebut," kata Zulham.
Dalam penyitaan aset milik para terdakwa, sebut Zulham, untuk menganti rugi harta nasabah investasi bodong yang dijerat dengan Undang undang Perbankan.
Di mana dalam kasus ini ada 10 nasabah di Pekanbaru mengalami kerugian Rp 84,9 miliar.
Dalam kasus itu, Fikasa Group menawarkan bunga tinggi yakni 9 sampai 12 persen melalui produk promissory notes untuk berinvestasi.
Belakangan, bunga tidak dibayar dan uang nasabah yang diinvestasikan tidak dikembalikan.
Terkait objek yang kini digugat, Zulham menerangkan bahwa aset Hotel The Westin tercatat dimiliki oleh PT Saraswati Griya Lestari.
Pemilik perusahaan tersebut adalah PT Tiara Reality dengan saham sebesar 55.54 persen.
Sementara pemilik PT Tiara Reality adalah PT Tiara Global Prppertindo (anak perusahaan Fikasa).
Baca juga: Vonis Bebasnya Dibatalkan MA, Terdakwa Kasus Investasi Bodong di Aceh Dihukum 12 Tahun Penjara
"Para terpidana merupakan pemegang saham komisaris, direksi dari perusahaan yang berafiliasi dengan PT Saraswati. PT Tiara menjadi kendaraan pidana terkait dengan aliran dana menghimpun dana dari masyarakat tanpa izin," imbuh Zulham.
Terkait dengan gugutan perdata oleh pihak Altus, pihak Kejari Pekanbaru mempersilahkan saja.
Dimana pihak penggugat mengklaim memilik hak atas aset tersebut. Saat ini, kasusnya masih bergulir di Pengadilan Negeri Gianyar, Bali.
"Kasus TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) para terpidana pun nanti segara disidangkan. Dalam kasus TPPU ini nanti akan lebih jelas kemana uang para nasabah digunakan," sebut Zulham.
PEKANBARU, KOMPAS.com - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Riau menuntut 14 tahun penjara terhadap empat dari 5 bos investasi bodong PT Fikasa Group, pada sidang di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa (1/3/2022).
Empat bos perusahaan keluarga konglomerat Salim itu adalah Agung Salim, Bhakti Salim, Cristian Salim dan Elly Salim.
Jaksa Herlina Samosir dan tiga jaksa penuntut umum (JPU) lainnya menilai bahwa unsur Pasal 46 ayat 1 tentang Undang-Undang Perbankan tahun 2010 terpenuhi.
Mereka menghimpun dana dari masyarakat yang dinilai sama seperti perbankan.
Baca juga: Kasus Investasi Bodong Rp 84,9 Miliar di Pekanbaru, Saksi Ahli: Produk Fikasa Group Tidak Memenuhi KUHD
Di mana dari fakta persidangan, mereka tidak mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI)
"Untuk itu, kita menuntut terdakwa Agung Salim, Bhakti Salim Cristian Salim dan Elly Salim dengan hukuman 14 tahun penjara," kata JPU Herlina Samosir.
Berdasarkan saksi yang dihadirkan sebelumnya, kasus ini tidak tidak termasuk dalam hukum dagang ataupun perdata.
Promissory note yang ditawarkan Fikasa Group dinilai merupakan produk yang dipersamakan dengan deposito, karena uang yang ditarik nasabah berjangka.
Dari fakta persidangan, bahwa di Pekanbaru ada 200 nasabah.
Namun, hanya 10 nasabah saja yang melapor. Dari 10 orang itu, nasabah tertipu Rp 84,9 miliar.
Untuk menarik pelanggan, mereka menawarkan bunga tinggi lebih dari bank yakni 9 ampai 12 persen.
Untuk di Pekanbaru keluarga konglomerat Salim itu mempekerjakan terdakwa Maryani.
Maryani sendiri sudah dituntut dengan hukuman 12 tahun penjara.
"Selain itu, kami juga menuntut terdakwa didenda Rp12 miliar subsider 11 bulan penjara. Kemudian sebidang tanah 1,2,3,4 5 dan 6 milik terdakwa dirampas untuk menganti rugi kerugian nasabah Rp 84,9 miliar," imbuh Herlina.
Baca juga: Terungkap Arisan Bodong Rp 21 Miliar di Sumedang dan Bandung
Sementara itu, salah satu korban yang hadir di persidangan, Archenius meminta majelis hakim bisa menghukum para terdakwa dengan hukuman berat.
Sebab, apa yang dilakukan terdakwa sangat merugikan.
"Harapan kita hakim bisa memvonis maksimal para terdakwa Agung Salim Cs ini, agar jangan ada lagi masyarakat yang jadi korban akibat penipuan mereka. Karena mereka memiskinkan masyarakat, sementara pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat," harap Archenius saat diwawancarai wartawan.
Sidang kasus investasi bodong dipimpin Ketua Majelis Hakim Dahlan. Sidang akan dilanjutkan 10 hari ke depan dengan agenda mendengarkan pledoi empat terdakwa.